mardi 14 août 2012

Petualangan The 'Cheap Labor' - First 3 Months

Hai anak sapi muncul dengan cerita baru, kakaaaa! (Apa sih, Pi??)

Sejak November 2011 yang lalu, saya memulai petualangan saya di Jakarta. Ibu Kota itu ternyata berat, Sobat! Kalau saya buat timeline selama tujuh bulan ini saya di Jakarta, mungkin kurang lebih seperti ini:

  • 3 Bulan Pertama: Adaptasi
  • Bulan ke 4-6: Mencoba menikmati
  • Bulan ketujuh: Mana kehidupan saya?
Kalau saya nulis kaya gini, mungkin kesannya saya berlebihan, drama, nggak bisa bersyukur, susah beradaptasi. Tapi, untuk saya memang seberat itu lah Jakarta jika dibandingkan dengan Bandung. Mari kita intip timeline saya satu per satu.

Di tiga bulan pertama saya di Jakarta memang benar-benar masa adaptasi. Terlalu banyak hal baru dimulai ketika saya (sok) memantapkan diri saya untuk meninggalkan Bandung dan dunia yang saya cinta ke Jakarta untuk meniti karir. Satu hal yang pasti adalah saya harus menyesuaikan diri dengan cuaca. Yes, cuaca. Simple tapi penting untuk saya yang sudah 21 tahun hidup di Bandung yang adem. Walaupun banyak orang yang mulai protes kalau Bandung sudah nggak se-sejuk dulu (kalau dipikir-pikir, ngapain pada protes sih? Salah siapa coba Bandung jadi nggak se-sejuk dulu? Ya salah kita semua lah), tapi tetep aja dibandingin sama Jakarta, Bandung is still heavenly comfortable. Saya masih bisa kok hidup tanpa AC di Kota Bandung. Tapi ketika saya sok kuat dan nekat tinggal di kos-kosan tanpa AC, rasanya saya mau mati dehidrasi. Bahkan nggak sedikit orang nggak percaya kalo saya bener-bener tinggal di kosan tanpa AC. Kebanyakan dari mereka akan komentar, "Jeng? Are you insane? Living in Jakarta without AC and you come from Bandung? You must be out of your mind." Saya sih cuma sok tabah dan sok kuat sambil sok mengangguk mantap, "Not that bad, kok." Padahal setiap kali sampai kosan saya cranky setengah mati gara-gara kepanasan.

Selain cuaca, saya juga harus menyesuaikan diri dengan tingkah polah orang Jakarta. Saya selalu mencoba untuk nggak men-generalized orang berdasarkan daerah. Tapi, coba deh jawab pertanyaan saya dengan jujur, kamu suka curiga nggak sih sama orang-orang di sekeliling kamu ketika di dalam Bus Trans Jakarta? Kalau kamu pulang malem, seandainya memang ada duit pasti lebih milih naik taksi kan daripada naik angkot? Selain karena merasa lebih nyaman naik taksi, pasti kamu juga ngerasa jauh lebih aman naik taksi dari pada naik angkot atau bus atau Trans Jakarta, kan? Ya begitulah, sejak saya di Jakarta saya jadi lebih su'udzon. Mungkin karena memang Jakarta terkenal dengan kriminalitas tinggi kali ya, dan orang-orang di Jakarta kebanyakan orang-orang stress, jadi nggak begitu ramah. Yes, peeps, mereka stress. Coba aja kamu bayangin jadi orang yang hidup di Jakarta. Berangkat dari rumah ke kantor kena macet. Stress. Sampai kantor dan mulai kerja. Stress. Pulang kantor ke rumah kena macet lagi. Stress. Gila, kapan bahagianya coba orang-orang itu. Makanya kebanyakan dari mereka lupa basa-basi, atau try being nice. Udah sumpek sepertinya. Mereka juga selalu dikejar-kejar waktu sehingga kadang kalau kita butuh bantuan di mana orang-orangnya nggak kita kenal, mereka bantuin cuma ala kadarnya. Jarang banget ada orang yang berhenti jalan agak lama ketika ada sesorang yang nanya. Sekalipun mereka berhenti, liat deh arah kakinya. Nggak menghadap orang yang lagi nanya. Basically, cuma kepalanya yang nengok dan badannya agak dimiringin sedikit. Kalau seandainya bisa ngomong sambil terus jalan, ya itulah yang bakalan dilakuin.

Saya juga nggak kuat macetnya Jakarta. Saya orangnya sebenernya cukup pengen tau banyak hal sih. Walaupun cuma sedikit, jiwa adventurer saya tetep ada kok. Tapi dengan load kerjaan saya ditambah lagi macetnya Jakarta bikin waktu saya kebuang di Jalan, yang ada saya tambah stress. Padahal kan niat saya jalan-jalan untuk melepas penat. Memang paling bener untuk melepas penat itu di Bandung sih. Macetnya masih masuk akal dan bisa banget diperkirain kapan.

Dan yang paling susah untuk adaptasi adalah Dunia Kerja! Background saya kuliah Hubungan Internasional di FISIP UNPAR. Kayanya nggak sedikit orang yang tau betapa surgawinya kuliah saya ini. Asal rajin baca dan punya daya analisis bagus, juga kritis, dijamin kamu survive. Kuliah bebas dalam artian bisa tuker-tuker kelas sesuka hati (well nggak berlaku untuk semua dosen sih). Kalau nggak bisa bangun pagi ya masuk kelas siang. Kalau siang pengen makan dulu ya masuk kelas sore. Kalau kelas sore males pengen jalan-jalan ya masuk kelas besok. Hahaha. Background saya yang lain adalah radio. Ya apalagi ini! Saya penyiar pula. Saya dibayar tiap jam siaran. Kalau nggak siaran ya nggak dibayar. As simple as that. Dari kehidupan sosial dan profesional saya yang biasa fleksibel dan nggak terlalu mengikat juga minim rutinitas berulang, masuk kantor itu susah banget untuk saya! Saya diharapkan untuk bisa kembali bangun pagi seperti manusia normal pada umumnya sementara saya terbiasa tidur pagi. Bingung nggak tuh badan saya dipaksa untuk adaptasi dalam tempo sesingkat-singkatnya. Terus, saya jadi punya office hour dari jam setengah sembilan pagi sampai jam setengah enam sore sementara saya manusia yang hidup suka-suka saya. Dan kerjaan saya adalah sales sementara background saya HI dan radio. Nggak nyambung sama sekali.

Semua hal baru yang tumpah tumblek jadi satu di atas bikin saya stress gila-gilaan. Apalagi saya tipe orang yang membandingkan diri saya sama orang lain. Dua teman kantor saya yang juga masuk barengan sama saya jauh lebih menegrti bidang kerjaan ini karena mereka emang minat dan suka. Sedangkan saya? Pokoknya 3 bulan pertama PR Banget deh, kakaaaa!

Udah ah, cape ngetik. Mau bobo. Istirahat. Lagi sakit.